Kelemahan Aturan PPN dalam Kegiatan Konstruksi


Setiap perusahaan yang sudah memiliki SPPKP (Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak) wajib melakukan pemenuhan kewajiban pajak PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atas setiap transaksi hasil dari sebuah proyek. Sayangnya, masih ada flaw dari aturan pajak terkait pelaksanaannya di sebuah konstruksi.

Beberapa kasus yang sering terjadi adalah, pembebanan kewajiban pemenuhan pajak dari Subkontraktor yang tidak dilaksanakan, kepada Main Kontraktor (Kontraktor Utama). Ilustrasinya sebagai berikut:

Di suatu proyek, PT. A sebagai Kontraktor Utama melaksanakan pekerjaan konstruksi jalan tol di Jawa Barat. PT. A memiliki beberapa Subkontraktor dalam pelaksanaan seperti PT. B, PT. C dan PT. D. 

Dalam semua progress tagihan, Subkontraktor B, C dan D selalu melampirkan Faktur Pajak. Untuk itu, PT. A wajib membayarkan nilai PPN masing-maisng tagihan tersebut.

Sayangnya, PT B dan D tidak melaksanakan kewajiban pembayaran PPN tersebut meski sudah menerbitkan Faktur Pajak. Sementara oleh PT. A, Faktur Pajak tersebut sudah dikreditkan ke KPP setempat.

Di Tahun berikutnya, setelah proyek selesai, terdapat pemeriksaan pajak atas PT. A untuk proyek tol tersebut. Dikarenakan PT. B dan D tidak melaksanakan kewajibanya setor PPN, maka beban PPN dikenakan ke PT. A selaku Kontraktor Utama serta pihak yang mengkreditkan Faktur Pajak PT. B dan D. Meskipun PT. A bisa membuktikan bahwa sudah melakukan pembayaran PPN ke B dan D.

Meski PT. A berhak melakukan banding, namun tetap dikenakan kewajiban membayar beban PPN tersebut hingga diputuskan pengadilan bahwa PT. A sudah melakukan kewajibannya terhadap PPN. Sayangnya proses untuk kesitu memerlukan waktu yang lama.

Kewajiban Pajak Retensi

Ada sedikit ambiguitas pada UU Pajak terkait beban pajak uang retensi. Pada umumnya, retensi dibayar setelah kontraktor melaksanakan kewajiban pemeliharaan selama jangka waktu tertentu (misal 6 bulan/1 tahun). Sementara PPN dibayar pada saat kontraktor menerima pembayaran.

Di UU Pajak menyebutkan bahwa Kontraktor wajib melaksanakan kewajiban pajak (PPN dan PPh) 100% dari total nilai pekerjaan pada saat pekerjaan tersebut telah diserah-terimakan. Menurut pihak Pajak, hal ini ditandai dengan BAST 1. Sementara Kontraktor baru menerima pembayaran tagihan dikurangi retensi (umumnya 5-10% dari total nilai pekerjaan). 

Dengan contoh kasus tersebut, jika pembayaran pajak atas retensi dilakukan pada saat BAST 2 atau Final, maka kontraktor dianggap tidak taat pajak/telat melaksanakan kewajiban pajaknya terhitung mulai dari BAST 1. Padahal pembayaran retensi sebesar 5-10% dari total nilai pekerjaan baru diterima 6-12 bulan setelah BAST 1.

Kesepakatan atas pengertian serah-terima pekerjaan ini sebaiknya perlu dibahas tersendiri antara petugas pajak dengan pelaku konstruksi. Tentu saja hal ini hanya berlaku pada perusahaan swasta, tidak pada BUMN atau Pemerintah yang punya privilage melaksanakan wajib pungut PPN atas pekerjaan konstruksi.

Update selanjutnya akan dibahas lebih detail.

You Might Also Like

0 komentar