Apa Itu Defect Liability Period (DLP) Jasa Konstruksi


 Defect Liability Period (DLP) atau Masa Pemeliharaan atau Rectification Period adalah periode yang dimulai setelah serah terima pekerjaan pertama (BAST-1) atau Provisional Hand Over (PHO) atau Penyelesaian Praktis (Practical Completion) dan biasanya berlangsung 6 (enam) hingga 12 (dua belas) bulan, yang disepakati oleh kedua belah pihak yang berkontrak (klien dan kontraktor) sebagai masa dimana kontraktor mempunyai hak untuk kembali masuk ke area proyek untuk menyelesaikan kewajibannya memperbaiki kerusakan (lebih tepatnya kecacatan) atas pekerjaan yang telah diserah-terimakan.

Selama periode ini, klien dibantu oleh konsultan, mencatat setiap cacat yang timbul di pekerjaan yang telah diserah-terimakan oleh kontraktor (yaitu pekerjaan yang tidak sesuai dengan kontrak), atau apakah itu sebenarnya masalah pemeliharaan (akibat faktor pihak ketiga). 

Jika sudah dipastikan bahwa item tersebut adalah cacat, maka mereka dapat mengeluarkan instruksi kepada kontraktor untuk memperbaikinya dalam waktu yang wajar.

Pencatatan ini dapat dilaksanakan oleh klien secara berkala, misalnya sebulan sekali, yang kemudian pada akhir periode DLP, klien dibantu oleh konsultan menyiapkan daftar seluruh kecacatan (defect), jadwal defect, daftar cacat yang sudah dan belum diperbaiki, dan tanggal deadline penyelesaian perbaikan atas defect yang disetujui dengan kontraktor.

Ketika klien dibantu konsultan menganggap semua item pada daftar defect telah diperbaiki, mereka kemudian harus mengeluarkan sertifikat penyelesaian perbaikan defect, yang mana dengan terbitnya sertifikat ini maka sisa retensi dapat dicairkan oleh kontraktor. Biasanya selain sertifikat tersebut, juga akan diterbitkan Sertifikat Serah Terima Akhir (BAST-2) atau Sertifikat Final Handing Over (FHO).

Perlu dicatat bahwa periode DLP bukanlah kesempatan untuk memperbaiki masalah yang sebenarnya sudah muncul sebelum PHO, melainkan yang muncul setelahnya di mana kontraktor dapat dipanggil kembali untuk memperbaiki cacat yang muncul. Jika ada cacat yang terlihat sebelum PHO, maka ini harus diperbaiki sebelum sertifikat PHO diterbitkan.

Namun, dalam prakteknya, sudah sering terjadi bahwa sertifikat PHO diterbitkan meskipun masih terdapat beberapa hal minor yang masih perlu perbaikan oleh kontraktor. Hal ini dikarenakan biasanya klien memiliki deadline khusus terhadap jadwal investor yang mana jika deadline tersebut lewat, maka klien diharuskan menanggung ganti rugi. 

Oleh karena itu, bukanlah hal yang aneh, terutama jika itu demi kepentingan klien, untuk menerbitkan sertifikat penyelesaian praktik (PHO) dengan lampiran daftar kelalaian dan cacat kecil untuk diperbaiki dalam periode DLP. 

Dalam contoh kasus lain, lampiran tersebut menjadi persyaratan penerbitan sertifikat pembayaran sebagian retensi (dimana kadang 50% porsi dibayarkan pada saat PHO), sehingga terpisah dengan daftar defect selama DLP.

Mekanisme Defect Liability Period (DLP)

Dalam periode DLP, jika kontraktor lalai dalam menyelesaikan tanggungjawabnya memperbaiki defect yang ditemukan oleh klien, dan disepakati bersama sebagai cacat memang atas pekerjaan kontraktor (bukan oleh pihak ketiga), maka klien berhak memilih pihak lain untuk menyelesaikan pekerjaan perbaikan tersebut dengan biaya dibebankan ke kontraktor. Dengan alasan inilah biasanya klien lebih memilih menahan uang retensi, daripada hanya menahan Bank Garansi Pemeliharaan selama masa DLP. 

Maka bagi kontraktor, secara teori, akan lebih ekonomis jika menepati kewajibannya memperbaiki defect tersebut, daripada jika dikerjakan oleh pihak lain, yang biayanya cenderung lebih besar. Dan bagi klien juga akan lebih efisien, daripada jika harus menunjuk pihak lain untuk perbaikan, yang berisiko biayanya akan melebihi nilai retensi yang ditahan.

Dalam prakteknya, menentukan dan menyepakati daftar defect antara pihak klien (dibantu konsultan) dengan kontraktor adalah sebuah hal yang sangat memakan waktu dan sumber daya. Hal ini akibat kecenderungan klien yang ingin semua kecacatan masuk dalam tanggung jawab kontraktor, meski kenyataannya ada beberapa yang diakibatkan oleh pihak ketiga.

Di sisi lain, kontraktor akan selalu berusaha meyakinkan bahwa cacat tersebut kebanyakan akibat pihak ketiga, dikarenakan pekerjaan yang sudah diserah-terimakan sudah operasional dan dapat diakses oleh pihak lain.

Dengan kondisi tersebut, banyak praktek dimana sisa retensi tidak ditagih oleh kontraktor (biasanya kontraktor pekerjaan lingkup kecil yang merasa nilai retensi tidak sebanding dengan nilai yang perlu dikeluarkan untuk menagih). Atau di kasus lain, nilai retensi yang cenderung lebih kecil daripada biaya yang dikeluarkan oleh pihak klien untuk menunjuk pihak ketiga menyelesaikan perbaikan.

You Might Also Like

0 komentar